article 2024-06-12 Aji Pratama 8 min read

Moratorium AI Selama 10 Tahun di AS: Inovasi atau Jalan Pintas Tanpa Pengawasan?

Usulan moratorium AI selama satu dekade tengah memicu perdebatan besar di Washington: antara ambisi teknologi nasional dan perlindungan hak konsumen di tingkat negara bagian.

Moratorium AI Selama 10 Tahun di AS: Inovasi atau Jalan Pintas Tanpa Pengawasan?

Moratorium AI Selama 10 Tahun di AS: Inovasi atau Jalan Pintas Tanpa Pengawasan?

Di tengah perlombaan teknologi dengan Tiongkok dan kian pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), Senat Amerika Serikat tengah menghadapi dilema besar: apakah negara bagian tetap boleh mengatur AI secara mandiri, atau seluruh regulasi diserahkan kepada pemerintah federal selama satu dekade ke depan.

Sebuah klausul dalam rancangan undang-undang anggaran besar yang dijuluki “Big Beautiful Bill” menjadi sorotan karena memuat usulan moratorium AI selama 10 tahun. Jika disahkan, negara bagian dan pemerintah lokal dilarang menerapkan atau menegakkan regulasi mereka sendiri terhadap sistem AI, model AI, maupun teknologi pengambilan keputusan otomatis.

Usulan ini muncul dari senator Partai Republik, Ted Cruz, yang berusaha mengamankan keberadaan klausul tersebut sebelum tenggat pembahasan akhir menjelang 4 Juli, momen penting bagi proses legislasi di Kongres. Meski diklaim sebagai upaya untuk menjaga konsistensi nasional dan melejitkan inovasi, banyak pihak melihatnya sebagai potensi ancaman terhadap transparansi dan akuntabilitas industri AI itu sendiri.

Antara Perlombaan Global dan Ketertinggalan Regulasi Federal

Bagi pendukung moratorium, seperti CEO OpenAI Sam Altman, pendiri Anduril Palmer Luckey, dan investor Marc Andreessen, inisiatif ini dianggap penting untuk mencegah terjadinya keruwetan regulasi antarnegara bagian. Mereka khawatir pendekatan tambal-sulam di tingkat lokal akan menghambat kemampuan Amerika Serikat menyaingi Tiongkok dalam pengembangan AI.

“Pendekatan tambal sulam terhadap regulasi AI tidak bekerja, dan situasinya hanya akan makin buruk,” tulis Chris Lehane, Chief Global Affairs Officer di OpenAI melalui LinkedIn. Ia menambahkan bahwa dominasi teknologi akan sangat menentukan arah dunia ke depan.

Altman, dalam rekaman langsung podcast Hard Fork, menyatakan harapannya pada regulasi federal yang adaptif dan menyasar risiko eksistensial dari AI. Namun ia juga skeptis pada kemampuan negara bagian untuk mengejar dinamika teknologi yang berkembang begitu cepat. “Jika proses pembuatan regulasi memakan waktu tiga tahun, maka teknologi ini mungkin sudah bergerak terlalu jauh,” ujarnya.

Namun sisi lain dari narasi tersebut menunjukkan fakta bahwa mayoritas hukum AI di tingkat negara bagian sebenarnya cukup spesifik dan protektif. Mereka mengatur penggunaan AI dalam konteks seperti rekrutmen kerja, perumahan, kredit, layanan kesehatan, hingga pemilu. Fokusnya adalah transparansi, keamanan data, dan perlindungan konsumen dari penyalahgunaan seperti deepfake atau diskriminasi algoritmik.

Sejumlah hukum lokal bahkan telah menuntut perusahaan AI membuka data pelatihan model mereka, seperti yang tertuang dalam UU AB 2013 di California, serta UU ELVIS di Tennessee yang melindungi musisi dari peniruan suara buatan secara tidak sah.

Ketika Pendukung dan Penentang Berasal dari Spektrum yang Sama

Menariknya, kritik terhadap moratorium ini tidak hanya datang dari Demokrat dan aktivis privasi, melainkan juga dari kalangan Republik. Senator Josh Hawley (R-MO), Marsha Blackburn (R-TN), dan bahkan Marjorie Taylor Greene (R-GA) menyuarakan keprihatinan yang sama: bahwa proposal ini menabrak prinsip otonomi negara bagian yang seharusnya dijunjung oleh Partai Republik.

“Proposal ini memaksa negara untuk memilih antara memperluas akses internet dan melindungi warganya dari dampak AI selama sepuluh tahun,” ujar Senator Maria Cantwell (D-WA) mengkritik taktik Senator Cruz yang menyambungkan penerimaan dana federal untuk proyek perluasan jaringan internet (BEAD) dengan kepatuhan pada moratorium AI.

Dalam revisi rancangan undang-undang, Cruz menyaratkan bahwa hanya negara yang patuh terhadap moratorium yang bisa mengakses bagian dana BEAD baru sebesar 500 juta dolar AS. Namun pemeriksaan lebih teliti menunjukkan bahwa klausul itu juga bisa mengancam dana broadband yang sudah dijanjikan sebelumnya, memperkuat tudingan bahwa proposal ini bernuansa represif.

Apa yang Sebenarnya Diinginkan Publik?

Di balik perdebatan teknis antara pendukung inovasi dan pelindung konsumen, satu suara penting justru datang dari masyarakat umum. Survei Pew Research yang dirilis baru-baru ini mengungkap bahwa sekitar 60 persen warga AS lebih khawatir jika pemerintah tidak cukup jauh dalam mengatur AI, ketimbang terlalu jauh.

Rasa skeptis terhadap kemampuan pemerintah mengatur AI cukup tinggi. Banyak warga juga ragu pada klaim-klaim tanggung jawab sosial dari perusahaan teknologi, mencerminkan kebutuhan akan pengawasan eksternal yang lebih kuat dan transparansi penggunaan sistem AI.

“Kami tidak melihat adanya bukti konkret bahwa regulasi negara bagian saat ini benar-benar menghambat kemajuan perusahaan besar seperti OpenAI atau Google,” ujar Emily Peterson-Cassin dari grup aktivis Demand Progress. Ia menambahkan bahwa perusahaan multinasional sudah terbiasa menghadapi tumpang tindih regulasi antara negara bagian, dan menggunakan hal itu sebagai dasar menolak pengawasan adalah retorik lama.

Akankah Moratorium Ini Menjadi Undang-Undang?

Hingga pekan ini, posisi moratorium masih dalam ketidakpastian. Meski telah lolos prosedur awal, desakan sejumlah senator dan gubernur Republik untuk mencabut klausul itu dari rancangan anggaran terus menguat. Sebanyak 17 gubernur Republik bahkan mengirim surat resmi menuntut penghapusan klausul tersebut dari paket anggaran.

Sumber-sumber di Capitol Hill menyebutkan bahwa Senat akan mulai melakukan debat intensif pekan ini terhadap berbagai amandemen, termasuk yang berupaya menghapus moratorium tersebut. Jika perdebatan berlarut, besar kemungkinan moratorium akan menjadi salah satu isu utama dalam pemungutan suara besar yang dikenal sebagai vote-a-rama selama akhir pekan.

Sementara itu, pengamat teknologi dan aktivis kebijakan terus menyerukan pembentukan kerangka kerja yang seimbang: regulasi federal yang kuat dan terarah, namun tetap memberikan ruang bagi negara bagian untuk menanggapi kebutuhan lokal secara cepat.

“Daripada melumpuhkan negara bagian, mengapa pemerintah federal tidak bekerja sama dengan perusahaan AI untuk menciptakan standar transparansi yang layak?” tanya Dario Amodei, CEO Anthropic, dalam opininya di The New York Times. Ia menilai bahwa moratorium selama 10 tahun terlalu ekstrem, justru berisiko membuat masyarakat kehilangan perlindungan mendasar di masa krusial perkembangan AI.

Dampak Global dan Refleksi Jangka Panjang

Isu ini lebih dari sekedar tarik-ulur legislatif di Washington. Di mata banyak pengamat, hasil akhir dari wacana moratorium AI akan menjadi tolok ukur arah kebijakan teknologi Amerika Serikat ke depan. Pilihannya: apakah negara itu akan menempatkan pertumbuhan perusahaan teknologi sebagai prioritas eksklusif, atau juga mengakui pentingnya demokratisasi teknologi dan perlindungan hak digital warganya.

Jika Amerika memilih memusatkan seluruh kewenangan di pemerintah federal sambil tidak kunjung menghasilkan kebijakan substantif yang melindungi publik, maka bisa jadi dekade emas AI justru menjadi bayangan suram bagi demokrasi digital. Terlebih saat negara lain, dari Uni Eropa hingga Singapura, mulai menyusun regulasi progresif untuk mengawal adopsi AI secara etis dan bertanggung jawab.

Pertanyaan terbesar kini bukan semata pada apakah pemerintah federal harus mengambil alih peran negara bagian, melainkan: siapa yang akan bertanggung jawab jika teknologi sebesar AI digunakan secara merugikan masyarakat? Dan apakah investor serta perusahaan teknologi siap berbagi beban itu, atau justru ingin menghindarinya selama sepuluh tahun ke depan.

A
Aji Pratama

Content Creator & AI Enthusiast

Suka artikel ini? Subscribe untuk update terbaru!

Dapatkan insight AI dan tips bisnis langsung ke inbox Anda setiap minggu.