article 2024-04-28 Aji Pratama 8 min read

Penulis Ternama Serukan Penerbit Batasi Penggunaan AI

Lebih dari seribu penulis menyerukan agar penerbit tidak menggantikan narator manusia dan staf editorial dengan teknologi AI, di tengah kekhawatiran atas penggunaan karya mereka tanpa izin dalam pelatihan model kecerdasan buatan.

Penulis Ternama Serukan Penerbit Batasi Penggunaan AI

Penulis Ternama Serukan Penerbit Batasi Penggunaan AI

Di tengah gelombang adopsi kecerdasan buatan oleh industri penerbitan, sekelompok besar penulis menyuarakan keprihatinan mereka. Melalui sebuah surat terbuka yang dirilis pekan ini, lebih dari seribu penulis menyerukan kepada penerbit agar tidak menggantikan manusia dengan mesin. Mereka menuntut adanya komitmen untuk menjaga nilai dan martabat pekerjaan kreatif dalam menghadapi arus teknologi.

Surat tersebut pertama kali ditandatangani oleh sejumlah nama besar di dunia literasi seperti Lauren Groff, Lev Grossman, R.F. Kuang, Dennis Lehane, dan Geoffrey Maguire. Dalam waktu 24 jam setelah surat itu dipublikasikan, lebih dari 1.100 penulis lainnya turut menyatakan dukungan dengan menambahkan tanda tangan mereka.

“Kami tidak menolak teknologi,” tulis para penulis dalam surat itu. “Namun, kami menolak penggunaan teknologi yang dibangun di atas kerja keras dan karya kami tanpa izin atau imbalan yang layak.”

Ketakutan Akan Hilangnya Ruang bagi Manusia

Surat terbuka ini muncul sebagai respons atas meningkatnya penggunaan kecerdasan buatan dalam proses produksi buku, mulai dari penulisan cerita hingga pembuatan audiobook. Salah satu tuntutan utama dalam surat tersebut adalah agar penerbit bersumpah untuk hanya menggunakan narator manusia dalam audiobook dan tidak memproduksi buku yang sepenuhnya dihasilkan oleh mesin.

“Jangan menggantikan staf manusia dengan alat AI, atau mengurangi posisi mereka menjadi hanya pengawas algoritma,” demikian bunyi salah satu poin dalam surat itu.

Pesan ini mencerminkan kekhawatiran yang semakin meluas di kalangan kreator, bukan hanya tentang kehilangan pekerjaan, tetapi juga tentang degradasi kualitas dan nilai dari produk kreatif jika sepenuhnya diserahkan kepada kecerdasan buatan.

Karya Dijadikan Bahan Latih Mesin Tanpa Izin

Di balik tuntutan moral tersebut, ada pula persoalan hukum yang turut menjadi sorotan. Para penulis menyatakan bahwa beberapa perusahaan teknologi telah menggunakan buku-buku mereka sebagai data pelatihan (training data) untuk model AI tanpa persetujuan atau kompensasi apa pun.

“Alih-alih memberi kami bagian kecil dari keuntungan yang dihasilkan dari karya kami,” tulis surat itu, “mereka malah membayar pihak lain untuk teknologi yang dibangun di atas kerja kami yang tidak dibayar.”

Ini bukan hanya soal etika, tapi juga perihal hak kekayaan intelektual. Sejumlah penulis telah menempuh jalur hukum untuk menggugat perusahaan teknologi besar yang dinilai melanggar hak cipta. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil signifikan. Beberapa tuntutan hukum bahkan sempat terpental di pengadilan federal Amerika Serikat awal pekan ini, memicu frustrasi di kalangan penulis.

Reaksi Industri Masih Beragam

Sementara banyak penulis menyuarakan keprihatinannya, respons dari pihak penerbit masih beragam. Beberapa penerbit independen menyatakan akan meninjau tuntutan tersebut secara serius, mengingat posisi mereka yang lebih dekat dengan para kreator. Namun, tidak semua pihak bersedia membuat komitmen terbuka sejauh yang diharapkan para penulis.

Di sisi lain, para pengembang teknologi berargumen bahwa model AI besar seperti GPT atau Claude membutuhkan data dalam jumlah sangat besar, dan sering kali data yang digunakan bersifat publik atau tersedia secara terbuka secara daring. Namun, celah hukum ini kini menjadi sumber kontroversi karena banyak karya sastra yang turut terseret dalam database pelatihan AI tanpa sepengetahuan penciptanya.

“Teknologi sedang bergerak begitu cepat, sehingga hukum dan etika sering kali tertinggal beberapa langkah,” ujar seorang pakar hukum digital dari Universitas New York dalam wawancara dengan NPR.

Benturan Budaya dan Ekonomi

Di balik semua ini, perdebatan tentang AI sebenarnya juga mencerminkan benturan antara dua nilai dasar: efisiensi dan ekspresi manusia. Bagi banyak perusahaan, AI dianggap sebagai solusi untuk memangkas biaya, mempercepat produksi, dan menjangkau pasar yang lebih besar. Tapi bagi komunitas kreatif, proses kreatif itu sendiri tidak bisa direduksi menjadi pola berulang yang bisa diprediksi atau direplikasi oleh algoritma.

“Karya sastra bukan hanya soal menyusun kata-kata secara efisien,” kata Lev Grossman, salah satu penandatangan surat terbuka tersebut. “Ia adalah cermin kompleksitas manusia, dan hanya manusia yang bisa benar-benar menciptakan pengalaman membaca yang otentik.”

Ancaman terhadap pekerjaan manusia di sektor kreatif bukan hanya persoalan hilangnya pendapatan, tetapi juga hilangnya identitas dan ruang berekspresi. Hal ini menjadi semakin nyata ketika beberapa perusahaan mulai merilis audiobook yang sepenuhnya dibacakan oleh suara sintetis AI, menggantikan narator-narator profesional yang selama ini menghidupkan teks dengan intonasi, emosi, dan interpretasi mereka.

Masa Depan yang Belum Jelas

Surat terbuka para penulis ini mungkin belum akan langsung mengubah kebijakan penerbit atau menghentikan laju pengembangan AI di industri media. Namun, ia berfungsi sebagai alarm yang menyuarakan ketidakseimbangan yang kian melebar antara kreator dan pemilik teknologi.

Para penulis tidak menutup pintu terhadap inovasi. Mereka hanya meminta agar hak, nilai, dan kontribusi manusia dalam proses kreatif tetap dihargai. Komitmen seperti tidak mengganti narator manusia atau tidak menerbitkan buku yang sepenuhnya dihasilkan oleh mesin bisa menjadi awal dari dialog yang lebih adil antara teknologi dan seni.

Dalam dunia di mana kata-kata bisa dengan mudah direplikasi oleh algoritma, keaslian dan keintiman dalam menulis menjadi sesuatu yang semakin langka dan berharga. Bagi para penulis, mempertahankan peran manusia dalam literasi bukanlah upaya melawan perubahan, melainkan menjaga agar di tengah percepatan teknologi, kita tidak kehilangan apa yang paling manusia dari semua: cerita.

A
Aji Pratama

Content Creator & AI Enthusiast

Suka artikel ini? Subscribe untuk update terbaru!

Dapatkan insight AI dan tips bisnis langsung ke inbox Anda setiap minggu.