article 2024-04-27 Aji Pratama 8 min read

Uni Eropa Tegaskan Tidak Akan Tunda Aturan AI Meski Didemo Raksasa Teknologi

Lebih dari seratus perusahaan teknologi mendesak Uni Eropa untuk menunda implementasi Undang-Undang AI. Namun Komisi Eropa memilih tetap melaju sesuai rencana demi menjaga integritas hukum dan keamanan publik.

Uni Eropa Tegaskan Tidak Akan Tunda Aturan AI Meski Didemo Raksasa Teknologi

Pada suatu pagi yang biasanya tenang di Brussel, suara dari balik pintu Komisi Eropa terdengar lebih tegas dari biasanya. Ketika tekanan dari lebih dari seratus perusahaan teknologi global mencoba merembes lewat surat dan pernyataan publik, jawaban yang datang justru lugas dan tak bergeser: Uni Eropa tidak akan menunda implementasi Undang-Undang Kecerdasan Buatan (AI Act).

Kebijakan yang telah disusun bertahun-tahun ini, menurut para pembuatnya, terlalu penting untuk ditunda. Diumumkan secara resmi pada hari Jumat, perwakilan Komisi Eropa, Thomas Regnier, menyampaikan posisi tegas institusi tersebut dalam konferensi pers yang dikutip berbagai media.

“Tidak ada yang namanya menghentikan jam. Tidak ada masa tenggang. Tidak ada jeda,” ujar Regnier, menjawab derasnya tekanan dari perusahaan raksasa teknologi seperti Alphabet, Meta, ASML, hingga Mistral AI.

Seruan untuk Menunda: Kekhawatiran dari Lembah Silikon dan Sekutunya

Surat terbuka dan lobi dari perusahaan-perusahaan teknologi itu menggarisbawahi alasan utama: kekhawatiran bahwa AI Act bisa menghambat kemampuan Eropa dalam bersaing di tengah ekosistem kecerdasan buatan yang berlari sangat cepat. Beberapa pihak bahkan menilai Eropa bisa tertinggal dari Amerika Serikat dan Tiongkok yang memiliki pendekatan regulasi yang lebih longgar terhadap AI.

Namun bagi Uni Eropa, ini bukan sekadar soal menjaga daya saing. Ini tentang menjamin keamanan publik, transparansi, dan akuntabilitas terhadap teknologi yang kian dalam merasuk ke kehidupan sehari-hari, dari sistem rekrutmen pekerjaan hingga pengenalan wajah di tempat umum.

AI Act dirancang berdasarkan prinsip berbasis risiko. Aplikasi AI dibagi ke dalam beberapa kategori risiko: risiko tidak dapat diterima, risiko tinggi, risiko terbatas, dan risiko minimal. Beberapa praktik seperti manipulasi perilaku kognitif dan social scoring—yang sempat memicu kontroversi besar di dunia internasional terkait sistem sosial Tiongkok—langsung dilarang.

Untuk penggunaan berisiko tinggi seperti sistem biometrik, pengenalan wajah, teknologi AI dalam proses rekrutmen atau pendidikan, pengembang aplikasi wajib mendaftarkan sistem mereka ke otoritas Uni Eropa dan memenuhi persyaratan ketat soal manajemen risiko, transparansi, dan audit internal. Bagi chatbot atau generative AI seperti GPT yang dianggap risiko terbatas, persyaratan lebih bersifat transparansi dasar, misalnya keharusan memberikan penjelasan bahwa pengguna sedang berinteraksi dengan AI.

Ketegangan antara Inovasi dan Regulasi

Ketegangan antara regulator dan industri bukanlah hal baru, tetapi dalam kasus AI perdebatan terasa lebih mendesak. Di satu sisi, ada kebutuhan nyata untuk melindungi masyarakat dari penggunaan teknologi yang bisa disalahgunakan. Di sisi lain, banyak startup dan pelaku industri yang khawatir bahwa regulasi yang terlalu ketat bisa membunuh inovasi sebelum sempat berkembang.

Mistral AI, salah satu perusahaan open-source AI yang berkembang di Eropa, mengungkapkan kekecewaan terhadap potensi efek domino aturan ini. Dalam wawancaranya di konferensi AI di Paris awal bulan ini, pendiri Mistral menyebut bahwa pendekatan Uni Eropa seperti membawa pisau ke arena balap yang sudah memakai jet.

“Kalau kita terus menambah lapisan birokrasi untuk setiap inovasi, kita akan melihat talenta terbaik memilih pindah ke AS atau tempat lain,” ujarnya.

Namun, bagi para perancang AI Act, kerangka kerja ini justru ingin menciptakan landasan kepercayaan agar teknologi dapat tumbuh secara berkelanjutan.

Margrethe Vestager, Komisioner Eksekutif Uni Eropa untuk Agenda Digital, berkali-kali menegaskan bahwa AI Act bukan tentang menghentikan inovasi, melainkan mengarahkan agar inovasi terjadi dalam koridor etika dan tanggung jawab.

“Kami percaya bahwa AI bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan, tapi hanya jika dikelola dengan benar,” kata Vestager dalam pidato publik tahun lalu.

Mulai Dijalankan Sejak 2023, Diterapkan Penuh 2026

Meskipun menuai kritik, AI Act sejatinya sudah mulai diterapkan secara bertahap sejak tahun 2023. Uni Eropa telah menyusun rencana pelaksanaan dengan pengenalan aturan secara modular, memberi waktu bagi perusahaan untuk menyesuaikan sistem mereka.

Target akhirnya adalah pertengahan tahun 2026, di mana semua ketentuan akan sepenuhnya berlaku. Bagi perusahaan yang ingin menjual atau mengoperasikan sistem AI di Uni Eropa, kepatuhan terhadap aturan ini akan menjadi tiket mutlak.

Uni Eropa juga menjanjikan dukungan bagi UKM, termasuk panduan kepatuhan, sistem bantuan teknis, hingga sandbox pengujian. Pendekatan ini dirancang agar teknologi tidak terbatas pada raksasa teknologi saja, tetapi juga terbuka bagi inovator kecil dan menengah.

Cita-Cita Membentuk Standar Global

Melalui AI Act, Uni Eropa tidak hanya ingin mengatur dalam batas regional, tetapi berharap dapat menetapkan standar global baru. Ini seperti yang pernah dilakukan oleh GDPR—aturan perlindungan data pribadi yang kini menjadi rujukan di seluruh dunia.

Beberapa pengamat menyebut pendekatan ini sebagai “regulasi lewat pasar”. Karena kekuatan pasar Uni Eropa yang besar, perusahaan global secara otomatis harus tunduk pada standar Eropa jika ingin bermain di wilayah ini.

Bagi negara lain, AI Act juga menjadi eksperimen etis dan regulatif yang menarik. Apakah pendekatan berbasis risiko ini bisa menyeimbangkan kebutuhan inovasi dan keamanan publik? Ataukah justru memicu pelarian teknologi ke wilayah lain?

Apa Maknanya bagi Masyarakat Umum?

Di balik perdebatan regulasi dan kepentingan geopolitik, masyarakat umum mungkin bertanya—apa dampaknya bagi kehidupan sehari-hari?

Jawabannya bisa sangat konkret. AI kini digunakan dalam penilaian kredit perbankan, sistem pelamar kerja digital, hingga pengawasan publik lewat CCTV pintar. Tanpa kejelasan kerangka hukum, pengguna dapat menjadi korban bias algoritma tanpa tahu harus ke mana mengadu.

Dengan AI Act, masyarakat punya perlindungan hukum yang lebih kuat. Jika mereka merasa sistem AI yang digunakan telah mendiskriminasi atau beroperasi tanpa transparansi, keluhan mereka bisa didasarkan pada regulasi yang jelas.

Saat dunia semakin menggantungkan diri pada teknologi berbasis data dan algoritma, regulasi seperti AI Act menjadi titik tolak penting. Bukan untuk membatasi, tapi untuk membangun kepercayaan.

Tentu, jalan menuju 2026 tak akan mulus. Pro-kontra tidak akan berhenti. Tetapi keputusan Uni Eropa untuk tak bergeming di tengah tekanan menunjukkan satu hal: dalam pertaruhan antara pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan prinsip jangka panjang, Brussel memilih yang terakhir.

Dan untuk masyarakat Eropa, keputusan ini bisa saja menjadi pengingat bahwa di balik setiap kecanggihan teknologi, tetap ada manusia yang harus dilindungi—bukan dilupakan.

A
Aji Pratama

Content Creator & AI Enthusiast

Suka artikel ini? Subscribe untuk update terbaru!

Dapatkan insight AI dan tips bisnis langsung ke inbox Anda setiap minggu.